Apalah arti sebuah nama? Demikian Kata Mbah ‘Will I Am Shakespeare’. :-D
Kutipan lengkapnya berbunyi “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”
Memang
benar demikian. Apalah arti sebuah nama? Benda yang kita sebut mawar
itu, kalaupun disebut dengan nama lain baunya akan tetap sama. Maksudnya
si Mbah Shakespeare, kalaupun mawar itu kita sebut oncom, tidak serta-merta baunya jadi macam tauco, wanginya tetap wangi mawar yang hakiki, karena toh bendanya memang itu.
Faktanya,
nama itu sangat penting. Dulu, saat menjadi mahasiswa tingkat 3, saya
pernah bersitegang dengan seorang pegawai FPBS UPI yang salah menuliskan
nama saya pada selembar surat. Seharusnya nama saya ditulis MAHARDHIKA
(dengan H di antara D dan I), namun dituliskannya nama saya MAHARDIKA.
Ini menjadi cukang-lantaran yang lantas membuat saya tidak sudi menerima surat tersebut. Dengan pongah dan congkaknya, sang pegawai (khususon, ini kasus. Sebagian besar pegawai UPI itu baik hati, kok! Berani sumpah!) berkata,
“Nama kamu itu kurang satu huruf saja dibacanya sama kan?”
Lalu dengan nada tinggi saya tanya balik, “Nama Bapak siapa?!”
–super nyolot sebagaimana biasa kalau saya sedang ngamuk.
“EKO!” jawabnya tak kalah nyolot.
“Bagaimana kalau saya tulis kurang satu huruf K? Jadi EO? Mau?!”
Dan…,
ujung-ujungnya, seperti biasanya, orang dewasa macam Pak Eko itu harus
mengalah kepada anak muda naif macam saya ketika itu. Surat itu
diambilnya kembali untuk diperbaiki (memang sudah seharusnya, kan? -_-)
Oke,
fragmen kisah masa lalu saya itu hanya sepenggal contoh bagaimana
sebuah nama bisa menjadi sangat sensitif untuk pemiliknya. Sampai-sampai
salah seorang dosen saya, Pak Iwa Lukmana, yang lulusan Monash
University itu, merasa perlu menggelar karpet merah untuk sebuah
kegiatan penelitian tentang nama.
Solot-menyolot
soal nama itu juga ternyata merambah ke mana-mana, bahkan ke dalam
medan internet. Yang terbaru yang saya temukan ialah di dalam sebuah
situs yang (mengaku-ngaku) situs dialog antaragama.
Kenapa
saya merasa perlu membubuhkan kata mengaku-ngaku dalam tanda kurung? Ya
karena sebetulnya isinya ternyata bukan dialog, lebih ke arena saling
hujat dan saling ejek dengan adu argumen bergaya Jaka Sembung bawa
asbak, kagak nyambung gedubrak!
Ahiww!
Soal agama memang sensitif, sama sensitifnya seperti banteng-banteng
Spanyol yang berkeliaran di Festival Pamplona. Salah posisi, bisa
membuat anda terseruduk sampai mampus di sana!
Salah
satu topik dalam arena saling ejek itu adalah soal nama. Syahdan,
seorang peserta hina-menghina itu menuliskan bahwa salah satu versi nama
(dari Isa dan Yesus) lebih sahih daripada yang lain, maka kitabnya pun
dianggapnya lebih sahih daripada kitab lainnya. Sebuah argumen yang
memang sangat ad hominem. Pada akhirnya, kepenasaranan saya
ikut tergelitik. Ini bukan soal mencari benar-salah, tapi ini soal
pelurusan fakta sejarah, terlepas dari soal-soal Agama.
Oke,
sejarah kadang mengaburkan karena ada banyak versi. Tapi dalam tataran
bahasa, kita bisa mendaurnya hingga murni, lalu tampak wujud hakiki dari
suatu kata yang menjadi polemik. Syahdan, alasan itulah alasan yang
melahirkan disiplin etimologi dalam filsafat.
Soalan
Yesus dan Isa ini memang perlu diluruskan agar orang-orang lebih paham
cara berargumen yang benar dan saling menghormati. Terus terang, sebagai
seorang Muslim, saya suka marah jika ada sesama Muslim yang
mempermainkan nama Yesus. Okelah, sesama Muslim itu memang bersaudara.
Tapi jika ada saudara yang memalukan, ya mau tak mau saya harus ikut
menanggung malu.
Jadi begini, sodarah….
Nama itu bermakna simultan dalam bahasa lainnya. Misalnya nama Charles di Inggris, dipanggil Carlos di Spanyol, Carlo di Italia, Karl di Jerman, dan Karel di Belanda & Skandinavia. Adik tingkat saya ada yang namanya Lukman (Si Black tea) oleh temannya yang orang Jepang dipanggil Rukuman. Teman saya yang orang Arab namanya Rahman, dipanggil Rahmanov saat dia migrasi ke Russia. Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, jiga dia di Arab nama depannya akan dipanggil Rojab Toyib Ardogan. Mbah ideologisnya Erdogan, Necmettin Ebarkan, akan dipanggil Najmuddin Abarkhan kalau di Arab. See? Cara pengucapan bisa beda, tapi rujukannya sama.
Langkah
pertama untuk meluruskan Isa dan Yesus ini seyogyanya adalah pemahaman
bahwa Isa yang disebut dalam Quran adalah sosok yang sama dengan Yesus
yang disebut di dalam Perjanjian Baru. Ini penting untuk ditekankan,
agar mereka yang suka memperolok-olok nama Yesus sadar siapa yang sedang
mereka olok-olok.
Dalam bukunya, Jesus Will Return, Harun Yahya membubuhkan tanda alaihissalam
di belakang nama Yesus. Begitulah seharusnya nama Yesus diperlakukan,
karena dia seorang nabi. Seorang Muslim diajarkan untuk menghormati para
nabi alaihimassalaam dengan cara yang santun dan bermartabat.
Markijut, Mari Kita Lanjut. Kita lihat prequel
soal ini dari prakelahiran Yesus as. Menurut taksiran para sejarawan,
Yesus as dilahirkan pada sekira tahun 5 SM. Kala itu di tempat kelahiran
beliau (as), Betlehem, bangsa beliau (Yahudi) sedang hidup dalam
penjajahan Imperium Roma. Bahasa apakah yang diucapkan kala itu?
Sekurangnya ada 4 (empat) bahasa yang dituturkan secara bersamaan di
sana.
- bahasa Ibrani (kuna, bukan bahasa Ibrani modern macam di Israel dewasa ini) sebagai bahasa ritual dan liturgi. Bahasa ini digunakan dalam berdoa dan beribadah. Mirip dengan Muslimin Indonesia yang berdoa dengan bahasa Arab. Dus, hanya para rabbi dan pemuka agama terkemuka yang menguasai bahasa ini. Kitab-kitab Tanakh (Taurat dan kitab lainnya) juga ditulis dalam bahasa ini.
- Bahasa Aram (bukan Arab, tapi Aram –Aramaic Language). Dengan bahasa inilah Yesus as kemudian mendakwahi kaumnya, berbicara kepada ibunya, Maria, dan mengobrol dengan para tetangganya. Ini bahasa ibu Yesus as, sekaligus Lingua Franca-nya tanah Kana’an. Sebagian sejarawan bahkan yakin bahasa ini dipakai di seantero Timur Tengah pada saat itu, termasuk di dunia Arab.
- bahasa Latin, digunakan oleh bangsa Romawi yang menjajah tanah Kana’an saat itu.
- bahasa Yunani yang digunakan oleh kaum pendatang dari wilayah Imperium Roma di bagian Eropa Timur.
Dus,
bisa dipastikan bahwa Yesus as dinamai ibundanya dengan nama berbahasa
Aram. Oke sekarang kita lanjut, teks berbahasa Aram yang paling tua
yang menyebut-nyebut kisah Yesus as adalah Peshitta, Kitab Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Aram dengan aksara Syro. Dalam Peshitta, nama Yesus Kristus ditulis begini:
ܕܝܫܘܥ ܡܫܝܚܐ
Baca: /eishûa mashïkha/
Lalu bagaimana nama itu bisa jadi Isa (Arab), Yesus (Yunani), dan Yêshûa (Ibrani)?
Begini ceritanya.
Kalau
kita perhatikan, di dalam Quran banyak sekali kisah nabi-nabi Israel
(selain Isa). Jika kita bandingkan penulisan namanya, banyak nama yang
aslinya diawali bunyi /y/ dalam bahasa Ibrani, tersulih menjadi
berawalan /i/ dalam bahasa Arab, contohnya:
- ישמעאל (baca: /yisy-ma’-e’l/) menjadi إسماعيل (baca: /is-ma-iil/) dalam bahasa Arab,
- ישראל (baca: /yis-ra’-el/) menjadi إسرائيل (baca: /is-ra-iil/ dalam bahasa Arab,
- יצחק (baca: /yits-khaq/) menjadi إِسْحَاقَ (baca: /is-haq/) dalam bahasa Arab.
Oke. Sekarang kita cermati nama Yesus as yang ditulis dalam Peshitta:
ܕܝܫܘܥ ܡܫܝܚܐ
Baca: /eishûa mashïkha/
ܡܫܝܚܐ (eishûa) dalam bahasa Aram adalah padanan nama untuk ישוע (yêsyûa’) dalam bahasa Ibrani.
Secara
sederhana, dapat dijelaskan bahwa bahasa Aram, Ibrani, dan Arab
sebenarnya berasal dari rumpun yang sama: yakni bahasa Semit. Karena
soal konvergensi dan divergensi, bahasa Semit ini kemudian terpecah ke
dalam tiga bahasa tersebut, di mana bahasa Ibrani terbebat oleh bahasa
Aram yang lebih banyak dituturkan di zaman Yesus as. Ini menjelaskan
bahwa perbedaan antara nama عيسى (Iisa) dalam bahasa Arab dengan nama ܡܫܝܚܐ
(eishûa) dalam bahasa Aram dan ישוע (yêsyûa’) dalam bahasa Ibrani tak
lebih dari soal perbedaan lafal –sama seperti dalam rumpun bahasa
Melayu, kata Kite (Betawi) dengan Kito (Palembang) dan Kita (Riau) dilafalkan.
Sip. Berarti sampai di situ kita dapat penjelasannya. Nah, lalu bagaimana nama Yesus muncul? Di atas, eike
sudah menjelaskan bahwa pada zamannya, di tanah Kana’an ada 4 bahasa
yang dituturkan secara simultan, termasuk salah satunya adalah bahasa
Yunani, selain Aram, Ibrani, dan Latin.
Dalam Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani, nama Isa ditulis ιησους (baca: /iêsous/). Perhatikan bahwa perbedaan paling mencolok ada pada bunyi /s/ di ujung kata. Nah, loh! Bagaimana penjelasannya?
Oke.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa bahasa Yunani tidak mengenal
bunyi vokal glotal di akhir kata. Buktinya adalah bukan hanya nama
Yesus, nama Nabi موسى (Muu-sa) dalam bahasa Ibrani disebut מֹשֶׁה
(Mo-she), dan dalam bahasa Yunani disebut μωυσης (Mouses).
Fenomena
ini sebenarnya dapat dijelaskan dengan padanan bunyi vokal glotal dalam
bahasa Indonesia: kita menulis BAPAK, tapi dibaca /bapa’/. See?
Nah,
selanjutnya, sebagaimana kita ketahui, bahasa Yunani dan bahasa Latin
memberikan pengaruh yang besar terhadap bahasa-bahasa Eropa. Sementara
bangsa Eropa sendiri kemudian berlayar dan membuat koloni di mana-mana,
bagai tawon berpindah pohon. Ini menjelaskan mengapa lafal JESUS atau
YESUS lebih mengglobal daripada IISA, EISHÛA, dan YÊSYÛA’.
Terakhir,
sebagai catatan, di negara-negara berbahasa Arab, nama Yesus dalam
Perjanjian Baru Arab tetap ditulis dalam bentuk Arab, yakni عيسى (iisa),
bukan bentuk bahasa yang lain. Kemudian, ternyata, dalam Perjanjian
Baru yang berbahasa Melayu-Kuna zaman dulu, nama “Isa Almasih” ditulis
sebagai terjemahan dari kata Yunani ιησους χριστος - iêsous khristos.
Salah satu contohnya adalah dua versi terjemahan Matius 1:1 berikut ini.
LAI TB, : “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.
Klinkert 1870: “inilah sjadjarah Isa Almasih, ija-itoe anak Da’oed, anak Iberahim.”
Akhirul
Kalam, itulah hikayat nama Isa/Yesus as. Sampai di sini, saya sungguh
sangat benar-benar berharap agar saudara-saudara sesama Muslim jangan
pernah menghina atau memperolok nama dan figur Yesus Kristus. Yesus
Kristus yang dipuja saudara-saudara kita yang Kristiani, yang namanya
tercantum di dalam Alkitab Perjanjian Baru, adalah sosok dan figur yang
sama dengan Isa Almasih yang namanya disebut-sebut di dalam Al Quran.
(sumber : http://bit.ly/1ns8Kcg)
(sumber : http://bit.ly/1ns8Kcg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar