Rabu, 21 Mei 2014

Di Sini Isa di Sana Yesus: Tanya Kenapa?

Apalah arti sebuah nama? Demikian Kata Mbah ‘Will I Am Shakespeare’.  :-D
Kutipan lengkapnya berbunyi “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”
Memang benar demikian. Apalah arti sebuah nama? Benda yang kita sebut mawar itu, kalaupun disebut dengan nama lain baunya akan tetap sama. Maksudnya si Mbah Shakespeare, kalaupun mawar itu kita sebut oncom, tidak serta-merta baunya jadi macam tauco, wanginya tetap wangi mawar yang hakiki, karena toh bendanya memang itu.
Faktanya, nama itu sangat penting. Dulu, saat menjadi mahasiswa tingkat 3, saya pernah bersitegang dengan seorang pegawai FPBS UPI yang salah menuliskan nama saya pada selembar surat. Seharusnya nama saya ditulis MAHARDHIKA (dengan H di antara D dan I), namun dituliskannya nama saya MAHARDIKA. Ini menjadi cukang-lantaran yang lantas membuat saya tidak sudi menerima surat tersebut. Dengan pongah dan congkaknya, sang pegawai (khususon, ini kasus. Sebagian besar pegawai UPI itu baik hati, kok! Berani sumpah!) berkata,
“Nama kamu itu kurang satu huruf saja dibacanya sama kan?”
Lalu dengan nada tinggi saya tanya balik, “Nama Bapak siapa?!”
–super nyolot sebagaimana biasa kalau saya sedang ngamuk.
“EKO!” jawabnya tak kalah nyolot.
“Bagaimana kalau saya tulis kurang satu huruf K? Jadi EO? Mau?!”
Dan…, ujung-ujungnya, seperti biasanya, orang dewasa macam Pak Eko itu harus mengalah kepada anak muda naif macam saya ketika itu. Surat itu diambilnya kembali untuk diperbaiki (memang sudah seharusnya, kan? -_-)
Oke, fragmen kisah masa lalu saya itu hanya sepenggal contoh bagaimana sebuah nama bisa menjadi sangat sensitif untuk pemiliknya. Sampai-sampai salah seorang dosen saya, Pak Iwa Lukmana, yang lulusan Monash University itu, merasa perlu menggelar karpet merah untuk sebuah kegiatan penelitian tentang nama.
Solot-menyolot soal nama itu juga ternyata merambah ke mana-mana, bahkan ke dalam medan internet. Yang terbaru yang saya temukan ialah di dalam sebuah situs yang (mengaku-ngaku) situs dialog antaragama.
Kenapa saya merasa perlu membubuhkan kata mengaku-ngaku dalam tanda kurung? Ya karena sebetulnya isinya ternyata bukan dialog, lebih ke arena saling hujat dan saling ejek dengan adu argumen bergaya Jaka Sembung bawa asbak, kagak nyambung gedubrak!
Ahiww! Soal agama memang sensitif, sama sensitifnya seperti banteng-banteng Spanyol yang berkeliaran di Festival Pamplona. Salah posisi, bisa membuat anda terseruduk sampai mampus di sana!
Salah satu topik dalam arena saling ejek itu adalah soal nama. Syahdan, seorang peserta hina-menghina itu menuliskan bahwa salah satu versi nama (dari Isa dan Yesus) lebih sahih daripada yang lain, maka kitabnya pun dianggapnya lebih sahih daripada kitab lainnya. Sebuah argumen yang memang sangat ad hominem. Pada akhirnya, kepenasaranan saya ikut tergelitik. Ini bukan soal mencari benar-salah, tapi ini soal pelurusan fakta sejarah, terlepas dari soal-soal Agama.
Oke, sejarah kadang mengaburkan karena ada banyak versi. Tapi dalam tataran bahasa, kita bisa mendaurnya hingga murni, lalu tampak wujud hakiki dari suatu kata yang menjadi polemik. Syahdan, alasan itulah alasan yang melahirkan disiplin etimologi dalam filsafat.
Soalan Yesus dan Isa ini memang perlu diluruskan agar orang-orang lebih paham cara berargumen yang benar dan saling menghormati. Terus terang, sebagai seorang Muslim, saya suka marah jika ada sesama Muslim yang mempermainkan nama Yesus. Okelah, sesama Muslim itu memang bersaudara. Tapi jika ada saudara yang memalukan, ya mau tak mau saya  harus ikut menanggung malu.
Jadi begini, sodarah….
Nama itu bermakna simultan dalam bahasa lainnya. Misalnya nama Charles di Inggris, dipanggil Carlos di Spanyol, Carlo di Italia, Karl di Jerman, dan Karel di Belanda & Skandinavia. Adik tingkat saya ada yang namanya Lukman (Si Black tea) oleh temannya yang orang Jepang dipanggil Rukuman. Teman saya yang orang Arab namanya Rahman, dipanggil Rahmanov saat dia migrasi ke Russia. Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, jiga dia di Arab nama depannya akan dipanggil Rojab Toyib Ardogan. Mbah ideologisnya Erdogan, Necmettin Ebarkan, akan dipanggil Najmuddin Abarkhan kalau di Arab. See? Cara pengucapan bisa beda, tapi rujukannya sama.
Langkah pertama untuk meluruskan Isa dan Yesus ini seyogyanya adalah pemahaman bahwa Isa yang disebut dalam Quran adalah sosok yang sama dengan Yesus yang disebut di dalam Perjanjian Baru. Ini penting untuk ditekankan, agar mereka yang suka memperolok-olok nama Yesus sadar siapa yang sedang mereka olok-olok.
Dalam bukunya, Jesus Will Return, Harun Yahya membubuhkan tanda alaihissalam di belakang nama Yesus. Begitulah seharusnya nama Yesus diperlakukan, karena dia seorang nabi. Seorang Muslim diajarkan untuk menghormati para nabi alaihimassalaam dengan cara yang santun dan bermartabat.
Markijut, Mari Kita Lanjut. Kita lihat prequel soal ini dari  prakelahiran Yesus as. Menurut taksiran para sejarawan, Yesus as dilahirkan pada sekira tahun 5 SM. Kala itu di tempat kelahiran beliau (as), Betlehem, bangsa beliau (Yahudi) sedang hidup dalam penjajahan Imperium Roma. Bahasa apakah yang diucapkan kala itu? Sekurangnya ada 4 (empat) bahasa yang dituturkan secara bersamaan di sana.
  1. bahasa Ibrani (kuna, bukan bahasa Ibrani modern macam di Israel dewasa ini) sebagai bahasa ritual dan liturgi. Bahasa ini digunakan dalam berdoa dan beribadah. Mirip dengan Muslimin Indonesia yang berdoa dengan bahasa Arab. Dus, hanya para rabbi dan pemuka agama terkemuka yang menguasai bahasa ini. Kitab-kitab Tanakh (Taurat dan kitab lainnya) juga ditulis dalam bahasa ini.

  2. Bahasa Aram (bukan Arab, tapi Aram –Aramaic Language). Dengan bahasa inilah Yesus as kemudian mendakwahi kaumnya, berbicara kepada ibunya, Maria, dan mengobrol dengan para tetangganya. Ini bahasa ibu Yesus as, sekaligus Lingua Franca-nya tanah Kana’an. Sebagian sejarawan bahkan yakin bahasa ini dipakai di seantero Timur Tengah pada saat itu, termasuk di dunia Arab.

  3. bahasa Latin, digunakan oleh bangsa Romawi yang menjajah tanah Kana’an saat itu.

  4. bahasa Yunani yang digunakan oleh kaum pendatang dari wilayah Imperium Roma di bagian Eropa Timur.
Dus, bisa dipastikan bahwa Yesus as dinamai ibundanya dengan nama berbahasa Aram.  Oke sekarang kita lanjut, teks berbahasa Aram yang paling tua yang menyebut-nyebut kisah Yesus as adalah Peshitta, Kitab Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Aram dengan aksara Syro. Dalam Peshitta, nama Yesus Kristus ditulis begini:
ܕܝܫܘܥ ܡܫܝܚܐ
Baca: /eishûa mashïkha/
Lalu bagaimana nama itu bisa jadi Isa (Arab), Yesus (Yunani), dan Yêshûa (Ibrani)?
Begini ceritanya.
Kalau kita perhatikan, di dalam Quran banyak sekali kisah nabi-nabi Israel (selain Isa). Jika kita bandingkan penulisan namanya,  banyak nama yang aslinya diawali bunyi /y/ dalam bahasa Ibrani, tersulih menjadi berawalan /i/ dalam bahasa Arab, contohnya:
  • ישמעאל (baca: /yisy-ma’-e’l/) menjadi إسماعيل (baca: /is-ma-iil/) dalam bahasa Arab,

  • ישראל (baca: /yis-ra’-el/) menjadi إسرائيل (baca: /is-ra-iil/ dalam bahasa Arab,

  • יצחק (baca: /yits-khaq/) menjadi إِسْحَاقَ (baca: /is-haq/) dalam bahasa Arab.
Oke. Sekarang kita cermati nama Yesus as yang ditulis dalam Peshitta:
ܕܝܫܘܥ ܡܫܝܚܐ
Baca: /eishûa mashïkha/
ܡܫܝܚܐ (eishûa) dalam bahasa Aram adalah padanan nama untuk  ישוע (yêsyûa’) dalam bahasa Ibrani.
Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa bahasa Aram, Ibrani, dan Arab sebenarnya berasal dari rumpun yang sama: yakni bahasa Semit. Karena soal konvergensi dan divergensi, bahasa Semit ini kemudian terpecah ke dalam tiga bahasa tersebut, di mana bahasa Ibrani terbebat oleh bahasa Aram yang lebih banyak dituturkan di zaman Yesus as. Ini menjelaskan bahwa perbedaan antara nama عيسى (Iisa) dalam bahasa Arab dengan nama ܡܫܝܚܐ (eishûa) dalam bahasa Aram dan ישוע (yêsyûa’) dalam bahasa Ibrani tak lebih dari soal perbedaan lafal –sama seperti dalam rumpun bahasa Melayu, kata Kite (Betawi) dengan Kito (Palembang) dan Kita (Riau) dilafalkan.
Sip. Berarti sampai di situ kita dapat penjelasannya. Nah, lalu bagaimana nama Yesus muncul? Di atas, eike sudah menjelaskan bahwa pada zamannya, di tanah Kana’an ada 4 bahasa yang dituturkan secara simultan, termasuk salah satunya adalah bahasa Yunani, selain Aram, Ibrani, dan Latin.
Dalam Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani, nama Isa ditulis ιησους (baca: /iêsous/). Perhatikan bahwa perbedaan paling mencolok ada pada bunyi /s/ di ujung kata. Nah, loh! Bagaimana penjelasannya?
Oke. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa bahasa Yunani tidak mengenal bunyi vokal glotal di akhir kata. Buktinya adalah bukan hanya nama Yesus, nama Nabi موسى‎  (Muu-sa) dalam bahasa Ibrani disebut מֹשֶׁה‎ (Mo-she), dan dalam bahasa Yunani disebut μωυσης  (Mouses).
Fenomena ini sebenarnya dapat dijelaskan dengan padanan bunyi vokal glotal dalam bahasa Indonesia: kita menulis BAPAK, tapi dibaca /bapa’/. See?
Nah, selanjutnya, sebagaimana kita ketahui, bahasa Yunani dan bahasa Latin memberikan pengaruh yang besar terhadap bahasa-bahasa Eropa. Sementara bangsa Eropa sendiri kemudian berlayar dan membuat koloni di mana-mana, bagai tawon berpindah pohon. Ini menjelaskan mengapa lafal JESUS atau YESUS lebih mengglobal daripada IISA, EISHÛA, dan YÊSYÛA’.
Terakhir, sebagai catatan, di negara-negara berbahasa Arab, nama Yesus dalam Perjanjian Baru Arab tetap ditulis dalam bentuk Arab, yakni عيسى (iisa), bukan bentuk bahasa yang lain. Kemudian, ternyata, dalam Perjanjian Baru yang berbahasa Melayu-Kuna zaman dulu, nama “Isa Almasih” ditulis sebagai terjemahan dari kata Yunani ιησους χριστος - iêsous khristos. Salah satu contohnya adalah dua versi terjemahan Matius 1:1 berikut ini.
LAI TB, : “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.
Klinkert 1870: “inilah sjadjarah Isa Almasih, ija-itoe anak Da’oed, anak Iberahim.”
Akhirul Kalam, itulah hikayat nama Isa/Yesus as. Sampai di sini, saya sungguh sangat benar-benar berharap agar saudara-saudara sesama Muslim jangan pernah menghina atau memperolok nama dan figur Yesus Kristus. Yesus Kristus yang dipuja saudara-saudara kita yang Kristiani, yang namanya tercantum di dalam Alkitab Perjanjian Baru, adalah sosok dan figur yang sama dengan Isa Almasih yang namanya disebut-sebut di dalam Al Quran.
(sumber : http://bit.ly/1ns8Kcg)

Ibu Ini Memberi iPhone5 pada Anaknya dengan Perjanjian

Seorang ibu bernama Janell Burley Hofmann memberikan hadiah ponsel berkelas yaitu iPhone 5 kepada anaknya Gregory. Meskipun iPhone 5 merupakan barang mewah, pemberian iphone 5 ini bukan untuk memanjakan anaknya, justru ia memberi aturan atau perjanjian yang sangat ketat kepada anaknya, dan ia harus mentaatinya. Jika tidak mau taat, maka iPhone tersebut akan di minta kembali.

Perjanjian tersebut sangat positif untuk anaknya, juga sangat inspiratif untuk kita terapkan bagi anak-anak kita. Berikut Ini daftar perjanjian ibu kepada anaknya:

1. Ini (iPhone 5) adalah milik ibu. Ibu membelinya. Ibu yang membayarnya. Ibu meminjamkannya untukmu. Bukankah ibu yang terbaik?

2. Ibu harus selalu mengetahui password-nya

3. Jika teleponnya berdering, jawablah. Itu adalah sebuah telepon. Katakan halo, tunjukkan perilaku yang baik (sopan.) Jangan pernah abaikan panggilan telepon jika dilayarnya tertulis “Ibu” atau “Ayah”. Jangan pernah.

4. Berikan teleponnya kepada orang tua-mu tepat jam 7:30 malam setiap malam sekolah dan setiap akhir minggu pada jam 9 malam. Telepon tersebut akan dimatikan untuk satu malam dan akan dihidupkan kembali esok hari jam 7:30 pagi. Jika kamu tidak mau menelepon ke telepon rumah temanmu, karena takut jika orang tua-nya yang mengangkat terlebih dahulu, maka jangan menelepon atau SMS sama sekali. Dengarkan suara hatimu dan hormatilah keluarga orang lain seperti kamu ingin keluarga kita dihormati.

5. Kamu tidak akan membawa Ini (iPhone 5) ke sekolah. Ngobrol-lah secara langsung dengan orang-orang yang biasa kamu ajak chatting atau SMS. Ini adalah bekal atau skill untuk hidupmu kelak. Untuk sekolah setengah hari atau field trip sesudah sekolah akan kami pertimbangkan.

6. Jika ini (iPhone 5) jatuh kedalam toilet, terhempas ke tanah, atau menghilang di udara bebas, kamu bertanggung jawab untuk penggantian atau biaya perbaikan. Kamu bisa memotong rumput, menjaga bayi, atau menggunakan uang tabungan hadiah ulang tahun. Ini akan terjadi, kamu harus bersiap.

7. Jangan gunakan teknologi ini untuk berbohong, membodohi, atau menipu umat manusia lainnya. Jangan biarkan dirimu terlibat dalam pembicaraan yang akan menyakiti orang lain. Jadilah teman yang baik terlebih dahulu atau menjauhlah dari kemungkinan perseteruan.
8. Jangan mengirimkan SMS, email, atau mengatakan apapun yang tidak mau kamu ucapkan dalam kehidupan sehari-hari.

9. Jangan mengirimkan SMS, email, atau mengatakan apapun ke seseorang yang tidak mau kamu katakan dengan lantang ketika orang tua mereka sedang berada diruangan itu. Sensorlah dirimu sendiri.

10. Tidak boleh ada pornografi. Carilah informasi di internet yang hanya akan kamu bagikan ke Ibu secara langsung. Jika kamu memiliki pertanyaan tentang apapun, tanyalah seseorang – lebih baik lagi tanya ke Ibu atau ayahmu.

11. Matikan, diamkan, sembunyikan dari khalayak ramai. Terutama di restoran, didalam bioskop, atau ketika berbicara dengan umat manusia lain. Kamu bukanlah orang yang kejam; jangan biarkan iPhone merubah itu.

12. Jangan kirimkan atau menerima gambar/ foto dari bagian pribadi anggota tubuhmu atau orang lain. Jangan tertawa. Suatu saat kamu akan tergoda untuk melakukannya secerdas apapun dirimu. Ini sangat beresiko dan dapat menghancurkan masa muda/ kuliah/ atau masa dewasamu. Ini akan selalu jadi ide yang buruk. Dunia maya itu luas dan lebih kuat daripada dirimu. Sulit sekali menghilangkan jejak dalam skala sebesar ini – termasuk reputasi yang buruk.

13. Jangan mengambil jutaan foto dan video. Tidak perlu mendokumentasikan segalanya. Alamilah hidupmy sendiri.
Kenangan itu akan tersimpan dalam ingatanmu untuk selamanya.

14. Sesekali tinggalkan iPhone ini dirumah dan coba untuk merasa nyaman dan aman dengan keputusan itu. Ini (iPhone) bukanlah benda hidup ataupun perpanjangan dirimu. Belajarlah untuk hidup tanpanya.
Jadilah lebih besar dan lebih kuat daripada FOMO – Fear Of Missing Out (rasa takut kehilangan.)

15. Download lagu yang baru atau yang klasik atau yang berbeda dari yang didengarkan oleh jutaan orang lain yang mendengarkan hal yang sama. Generasimu memiliki akses musik yang belum pernah ada selama sejarah. Ambillah keuntungan dari hal tersebut. Perluas cakrawala-mu.

16. Sesekali mainkan permainan dengan kata-kata atau puzzles (teka-teki) atau permainan yang melatih otak.

17. Jaga matamu tetap menghadap kedepan. Lihat dunia disekelilingmu. Pandangilah jendela. Dengarkan kicauan burung. Jalan-jalan. Berbicaralah dengan orang asing. Berkelilinglah tanpa Googling.

18. Kamu pasti akan melakukan kesalahan. Ibu akan mengampil teleponmu. Kita akan duduk dan membicarakannya. Kita akan memulai dari awal lagi. Ibu dan kamu, kita selalu belajar. Ibu adalah bagian dari tim-mu. Kita melakukan ini bersama-sama.
Dan pada akhir daftar kontrak, sang ibu menulis “Kebanyakan pelajaran disini tidak hanya berlaku untuk iPhone, namun untuk kehidupan..”

Sungguh perjanjian yang sangat mendidik dan sangat bijak sana bagi anaknya. sangat cocok sekali dengan keadaan saat ini, zaman di mana kemudahan teknologi membuat kita jarang berinteraksi secara langsung kepada orang di sekitar kita.

Kita lebih suka berlama-lama sms-an, berlama lama melihat dinding facebook kita, lebih suka chating. Kita lebih suka menatap layar, dari pada harus bertemu langsung.

Padahal jika kita melakukan hal tersebut secara berlebihan, akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologis kita, khususnya kemampuan untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat.

Semoga kisah inspiratif ibu yang memberikan hadiah iPhone 5 kepada anaknya dengan perjanjian ketat di atas bisa bermanfaat bagi kita semua. (Sumber: mitrafm.com)